Selasa, Agustus 09, 2011

SEJARAH BAGIAN VI

SEJARAH PENERIMAAN WAHYU WEWARAH SAPTA DARMA
DAN PERJALANAN PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA
(BAGIAN VI – BAB II)


DIKELUARKAN OLEH

SEKRETARIAT TUNTUNAN AGUNG
KEROKHANIAN SAPTA DARMA

UNIT PENERBITAN
Sanggar Candi Sapta Rengga - Surokarsan MG.II/472 Yogyakarta 55151
Telepon/Fax : (0274) 375337  -  Email : saptadarma@yahoo.com


2.2.6. PENERIMAAN WAHYU SAUDARA DUA BELAS (27 DESEMBER 1954)
Pada tanggal 27 Desember 1954 merupakan hari ulang tahun ke dua diterimanya Wahyu Sujud. Pada hari ulang tahun tersebut, sebagaimana biasa para Warga Sapta Darma berkumpul di sanggar /  rumah Bapak Hardjosopoero, untuk mengadakan sujud bersama dalam rangka mengenang hari yang bersejarah itu. Setelah sujud bersama selesai, dilanjutkan dengan wawancara antara Bapak Hardjosopoero dengan para warga yang hadir.
Sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba Bapak Hardjosopoero menerima getaran dan bergeraklah badan beliau dengan menyatukan kedua belah telapak tangan di depan dada (sikap sembahan), yang kemudian kedua tangannya bergerak menuju ke ubun-ubun, menurun ke dahi, terus ke pundak kiri ke tonjolan ujung tulang belakang bagian atas  (punuk), pindah ke pundak kanan, terus ke dada kiri, dada tengah, dada kanan, terus ke pusat (puser) perut, terus ke lambung kanan kiri (lempeng kiwo tengen) terus ke tulang ekor, dan kemudian kedua tangannya berpisah, lalu bergerak dan bergetar terus rasanya menuju pada ujung-ujung jari kedua belah tangannya.
Setelah Bapak Hardjosopoero gerakannya terhenti, merasa bingung tidak mengerti apa yang dimaksud dengan adanya gerakan tangan tersebut. Kemudian beliau memerintahkan kepada semua warga agar melakukan sujud bersama untuk maneges / mohon penjelasan kepada Allah Hyang Maha Kuasa, apa maksud gerakan yang terjadi pada dirinya.
            Dalam sujud bersama yang kemudian dilanjutkan dengan ening, beliau mendapatkan petunjuk dari Allah Hyang Maha Kuasa, bahwa gerakan tersebut menunjukkan tempat serta adanya Saudara Dua Belas.

Setelah sujud berakhir, lalu dijelaskan bahwa gerakan tersebut merupakan petunjuk dari Allah Hyang Maha Kuasa tentang adanya Saudara Dua Belas yang terdapat dalam tubuh manusia. Adapun gerakan yang menunjukkan tadi adalah geraknya Nur Rasa atau Baginda Kilir.

2.2.7. PENERIMAAN WAHYU  TALI RASA DAN WASIAT TIGA PULUH TIGA
2.2.7.1.  PENERIMAAN WAHYU TALI RASA (13 PEBRUARI 1955)
Setelah diterimanya Wahyu Simbul Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Sesanti, baru dapat dimengerti dan menjadi lebih jelaslah bagi para warganya, sehingga lebih meyakinkan bahwa hal-hal yang telah dilaksanakan pada hari-hari yang lalu merupakan tindakan budi luhur yang dituntuni langsung oleh Allah Hyang Maha Kuasa dengan nama “Ajaran Agama Sapta Darma”.
Telah menjadi kebulatan tekad para sahabatnya, agar setiap malam senantiasa dapat berkumpul dan sujud bersama untuk mendapatkan tuntunan dan petunjuk lebih lanjut dari Allah Hyang Maha Kuasa.
           Pada suatu pertemuan dalam rangka mengenang hari penerimaan Wahyu Racut, tepatnya pada tanggal 13 Pebruari 1955, Bapak Hardjosopoero dengan segenap warga yang ada mengadakan sujud bersama di sanggar / rumah Bapak Hardjosopoero. Sesudah sujud dilanjutkan dengan ening. Dalam kondisi ening tersebut beliau mendapatkan wahyu, yaitu suatu pemandangan dengan jelas sekali tentang gambar orang lengkap dengan abjad (carakan) aksara Jawa yang terletak di tempat-tempat tertentu pada seluruh tubuh. Huruf selengkapnya ialah :
                            
Aksara Jawa tersebut adalah petunjuk tempat tali rasa, yaitu simpul yang merupakan sentral rasa setempat di seluruh tubuh manusia yang jumlahnya ada 20 (dua puluh). Inilah yang dinamakan Tali Rasa.   

2.2.7.2. PENERIMAAN WAHYU WASIAT TIGA PULUH TIGA (13 PEBRUARI 1955)
Sujudan yang pertama dalam rangka memperingati Wahyu Racut yang kedua tanggal 13 Pebruari 1955 diterima Wahyu Tali Rasa, yaitu sentral rasa setempat pada tubuh manusia yang berjumlah 20 (dua puluh) yang ditunjukkan abjad (carakan) aksara Jawa.
         Pada malam itu juga dalam sujud yang terakhir diterima pula wahyu, yaitu Wasiat Tiga Puluh Tiga. Seperti halnya pada waktu menerima Wahyu Tali Rasa, Bapak Hardjosopoero menerima wasiat tiga puluh tiga jumlahnya.

2.2.8.  PENERIMAAN WAHYU WEJANGAN DUA BELAS (12 JULI 1955)
Pada tanggal 12 Juli 1955 setelah para Warga Sapta Darma berkumpul di sanggar / rumah Bapak Hardjosopoero, lalu diadakan sujud bersama dalam rangka memperingati hari diterimanya Wahyu Simbul Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Sesanti. Dalam sujud bersama yang dilanjutkan dengan ening Bapak Hardjosopoero mendapat perintah dari Allah Hyang Maha Kuasa, supaya menyampaikan Wejangan Dua Belas, sebagai penjelasan bahwa Ajaran Budi Luhur Manusia telah lengkap dan bilamana diajarkan sudah dapat mencapai Jejering Satria Utama.
Setelah selesai sujud bersama, maka beliau dengan mendapat tuntunan langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa menyampaikan Wejangan Dua Belas kepada para warga.

2.2.9. PENERIMAAN WAHYU NAMA SRI GUTAMA DAN AGAMA SAPTA DARMA
2.2.9.1.  PENERIMAAN WAHYU NAMA SRI GUTAMA (27 DESEMBER 1955)
Sebelum tanggal 27 Desember 1955 gelar Bapak Hardjosopoero senantiasa berubah-ubah, demikian pula nama sujudnya. Secara berurutan sebagai berikut :
1)      Pada waktu menerima nama Brahma sujudnya disebut Sujud Brahma.
2)      Pada waktu berganti nama Resi Brahma disebut Sujud Resi Brahma.
3)      Pada waktu berganti nama Brahmana disebut Sujud Brahmana.
4)      Pada waktu berganti nama Resi Brahmana disebut Sujud Resi Brahmana.
5)      Pada waktu berganti nama Pandita disebut Sujud Pandita.
6)     Pada waktu berganti nama Raja Pandita disebut Sujud Raja Pandita
      Dalam hal ini penerima nama Raja Pandita minta kepada semua warga supaya memandang pada kedua telapak tangan Raja Pandita (Bapak Hardjosopoero), di mana pada telapak tangan Raja Pandita tersebut terdapat tulis tanpa papan yang disebut Sastra Jendra Hayuningrat. Apa yang terlihat di telapak tangan Raja Pandita adalah wejangan sebagai dasar untuk mencapai keluhuran (gegayuhan luhur : Jawa).
    Tepat pada tanggal 27 Desember 1955 dalam rangka memperingati diterimanya Wahyu Sujud, para warga berkumpul di rumah Sdr. Tan Swie Hiang di Jl. Lawu No.1 Pare, Kediri, Jawa Timur yang dihadiri oleh warga diantaranya Sdr. Rabun Sutrisno Letnan PDM Blitar, Sdr. Sutrisno Polisi Perintis, Sdr. Kasdi, Sdr. Kasmuri dari Jombang dan Sdr. Tan Swie Hiang serta Bapak Hardjosopoero penerima wahyu.
    Setelah mengadakan sujud bersama yang kemudian dilanjutkan dengan ening, maka diterima wahyu lagi yang disaksikan oleh segenap warga yang hadir, Bapak Hardjosopoero dijejerkan menjadi “SRI GUTAMA PANUNTUN AGUNG”. Adapun Sri Gutama berarti pelopor budi luhur. Bersamaan dengan diterimanya wahyu tadi pada pukul 24.00 WIB ditandai hujan yang sangat lebat merupakan saksi alam. Pada waktu itu Bapak Hardjosopoero telah genap berusia 41 (empat puluh satu) tahun.
    Untuk meyakinkan peristiwa penting ini, lalu diadakan sujud bersama serta mohon petunjuk selanjutnya dari Allah Hyang Maha Kuasa, agar senantiasa mendapatkan tuntunan dan sinar-sinarNya.  
      
2.2.9.2. PENERIMAAN WAHYU AGAMA SAPTA DARMA (27 DESEMBER 1955)
     Pada malam yang sama dalam mengenang hari bersejarah saat diterimanya Wahyu Sujud, tepatnya pada malam tanggal 27 Desember 1955 Bapak Hardjosopoero dijejerkan menjadi Panuntun Agung Sri Gutama. Kemudian beliau bersama-sama dengan segenap warga mengadakan sujud bersama dilanjutkan dengan ening, sedangkan Bapa Panuntun Agung Sri Gutama lalu melakukan racut untuk mendapatkan petunjuk langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa. Dalam melakukan racut tersebut Bapa Panuntun Agung Sri Gutama menerima suara petunjuk rasa tentang sebutan Agama  bagi Ajaran  Sapta Darma, sehingga nama Sapta Darma lengkap menjadi “AGAMA  SAPTA DARMA”.
     Oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dijelaskan, bahwa istilah Agama bagi Sapta Darma mempunyai pengertian yang khusus sebagai berikut :
A () =   pengertiannya Asal Mula Manusia.
GA  ()  =   pengertiannya Gama atau Kama (air suci)
MA ( )  =  pengertiannya Maya atau Sinar Cahaya Allah.
      Jadi definisi Agama menurut Sapta Darma adalah asal mula manusia dari Kama dan Maya. Agama Sapta Darma dengan seluruh ajarannya merupakan ajaran Ketuhanan yang berisikan nilai-nilai budi luhur (spiritual), untuk memperbaiki mental dan moral manusia umumnya dan khususnya Bangsa Indonesia yang telah mengalami menurunnya mental dan merosotnya akhlak, akibat lama menjadi bangsa terjajah dan tertindas. Lagi pula sesudah adanya revolusi fisik, dengan adanya pemberontakan disana-sini menimbulkan pengenduran mental, maka diturunkanlah Ajaran Ketuhanan ini, untuk menuntun Bangsa Indonesia khususnya dan umat manusia umumnya, agar kembali ke jalan Tuhan dengan cara yang praktis dan sederhana yang dapat dilaksanakan oleh umat manusia di segala lapisan masyarakat.

2.2.10. PENERIMAAN WAHYU TUGAS PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA (17 AGUSTUS 1956)
Sejak diterimanya wahyu yang pertama tentang sujud menyembah kepada Hyang Maha Kuasa pada tanggal 27 Desember 1952 sampai dengan diterimanya Wahyu Nama Sri Gutama sebagai Panuntun Agung Agama Sapta Darma pada tanggal 27 Desember 1955, sudah lengkaplah penerimaan wahyu ajaran tersebut selama Masa Pertapaan.
  Selama tahun 1956, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama pada setiap waktu sujud dan dilanjutkan dengan racut, berulang-ulang mendapat perintah dari Allah Hyang Maha Kuasa agar menyebarluaskan Ajaran Agama  Sapta Darma kepada umat manusia yang memerlukan. Namun demikian Bapa Panuntun Agung Sri Gutama belum bersedia untuk melaksanakan tugas tersebut karena takut. Pengalaman pahit sering dialami oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama ketika ada perintah dari Hyang Maha Kuasa yang belum disampaikan kepada para warganya. Belum bersedianya melaksanakan tugas penyebaran tersebut dengan pertimbangan tentu akan meninggalkan keluarga, sedang putra-putranya masih kanak-kanak dan Ibunya pun harus mengasuh dan mencukupi seluruh kebutuhan kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi perekonomian keluarga yang sangat minim itulah, Bapa Panuntun Agung Sri Gutama mengharapkan tercukupi kebutuhan keluarga agar dapat ditinggal melaksanakan tugas penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma yang perintahnya selalu berdatangan. Guna memenuhi kebutuhan keluarga tersebut Bapa Panuntun Agung Sri Gutama juga sering mendapat petunjuk misalnya diperintahkan :
1)      Mengambil beras 1 (satu) karung di kamar belakang.
2)      Mengambil emas batangan di bawah bantal.
3)      Menggali harta karun di dua tempat.  
Ternyata kesemuanya itu tidak benar sehingga menimbulkan kekecewaan, namun pada akhirnya mendapatkan pengertian bahwa semua pengalaman tersebut adalah sebagai pematangan bekal beliau dalam melaksanakan tugas berat yang harus diembannya.

0 komentar:

Posting Komentar