Selasa, Agustus 09, 2011

SEJARAH BAGIAN IV

SEJARAH PENERIMAAN WAHYU WEWARAH SAPTA DARMA
DAN PERJALANAN PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA
(BAGIAN IV - BAB. II)

 

DIKELUARKAN OLEH
SEKRETARIAT TUNTUNAN AGUNG
KEROKHANIAN SAPTA DARMA
UNIT PENERBITAN
 
Sanggar Candi Sapta Rengga - Surokarsan MG.II/472 Yogyakarta 55151
Telepon/Fax : (0274) 375337  -  Email : saptadarma@yahoo.com



Pada tanggal 27 Desember 1952 pukul 07.00 WIB sampailah Bapak Hardjosopoero di rumah Bapak Djojodjaimoen, kemudian langsung diceritakan pengalaman yang aneh semalam itu. Semula Bapak Djojodjaimoen tidak percaya terhadap apa yang telah diceritakan beliau. Akan tetapi secara tiba-tiba seluruh badan Bapak Djojodjaimoen tergetar dan bergerak dengan sendirinya seperti halnya yang pernah dialami Bapak Hardjosopoero. Setelah Bapak Djojodjaimoen selesai mengalami sujud diluar kemauannya tadi, keduanya mempunyai niat untuk datang kepada sahabatnya yaitu Bapak Kemi Handini, seorang sopir di Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, dengan harapan akan mendapat penjelasan serta nasehat-nasehatnya.
Pada tanggal 28 Desember 1952 pukul 17.00 WIB mereka berdua telah sampai di rumah Bapak Kemi Handini, dan segera diceritakan peristiwa yang telah dialaminya. Belum sampai selesai ceritanya, tiba-tiba ketiga orang tersebut badannya terasa tergetar dan bergerak dengan sendirinya melakukan sujud di luar kemauan sendiri. Di dalam gerak sujud bersama, tiba-tiba Bapak Hardjosopoero melihat dengan terang gambar-gambar tumbal di tempat tertentu  yang ditanam di rumah Bapak Kemi Handini. Setelah gerak sujud selesai, lalu diceritakan hal itu kepada Bapak Kemi Handini segala apa yang diketahui didalam gerak sujud. Mendengar keterangan Bapak Hardjosopoero kedua orang itu merasa heran, karena apa yang diceritakan Bapak Hardjosopoero adalah benar sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Mereka bertiga telah sepakat bulat untuk menemui sahabatnya yaitu Bapak Somogiman seorang pengusaha angkutan di Kampung Plongko, Kecamatan Pare, yang mengerti dalam hal kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan.
Pada tanggal 29 Desember 1952 pukul 17.00 WIB, mereka bertiga telah sampai di rumah Bapak Somogiman dan disitu ternyata telah berkumpul banyak kawannya. Oleh Bapak Hardjosopoero dipaparkan pengalaman-pengalaman gaib yang pernah dialami oleh ketiga orang selama ini. Pada waktu itu Bapak Somogiman tidak memberikan tanggapan yang baik dan seolah-olah tidak percaya terhadap apa yang diceritakan oleh Bapak Hardjosopoero. Akan tetapi apa yang terjadi? Secara tiba-tiba Bapak Somogiman badannya tergerak dengan sendirinya di luar kemauan, seperti yang pernah dialami oleh Bapak Hardjosopoero dengan para sahabatnya tersebut. Semenjak hari itu tersiarlah berita dari mulut ke mulut tentang peristiwa gaib di kota Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Tersiarnya berita tentang peristiwa gaib di Kota Pare itu, terdengar oleh Bapak Darmo seorang sopir dan Bapak Rekso Kasirin seorang pengusaha batik, yang kemudian kedua orang tersebut berusaha mendatangi rumah Bapak Somogiman dengan maksud untuk membuktikan dari dekat kebenaran tentang berita peristiwa gaib tersebut. Setelah mereka datang disana belum sampai mendengarkan ceritanya, tiba-tiba badan Bapak Darmo dan Bapak Rekso Kasirin tergerak sujud kepada Hyang Maha Kuasa diluar kemauannya.
Pada saat kedua orang itu tergerak sujud, maka secara serentak teman-temannya yaitu Bapak Hardjosopoero, Bapak Somogiman, Bapak Kemi Handini, Bapak Djojodjaimoen, tergerak pula bersama-sama sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Setelah keenam saudara tersebut selesai menjalankan sujud, mereka lalu pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali Bapak Hardjosopoero yang tidak mau pulang, karena takut kalau mendapat gerakan-gerakan sendiri di rumahnya. Hampir dua bulan lamanya Bapak Hardjosopoero tidak mau pulang ke rumahnya sendiri, melainkan tinggal berpindah-pindah di rumah kawan-kawannya. Mereka berenam berniat bulat selalu dapat berkumpul pada setiap malam.
Pada suatu malam tanggal 12 menjelang 13 Pebruari 1953, setelah keenam saudara tersebut berkumpul, beliau menerima suara / petunjuk rasa agar Bapak Hardjosopoero segera pulang ke rumahnya sendiri, karena akan menerima lagi ajaran yang lebih tinggi langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa.

Close up wajah Bapak Hardjosopoero,  gambar disamping adalah Bapak Hardjosopoero bergambar bersama dengan sahabat-sahabatnya : sebelah kirinya adalah Bapak Kemi, dan sebelah kanannya adalah Bapak Djojodjaimun sebagai saksi-saksi dalam penerimaan ajaran-ajaran tersebut diatas
2.2.3. PENERIMAAN WAHYU RACUT
Berdasarkan perintah Allah Hyang Maha Kuasa yang diterima oleh Bapak Hardjosopoero, agar beliau segera kembali ke rumahnya sendiri karena akan menerima ajaran yang lebih tinggi lagi, maka pada tanggal 13 Pebruari 1953 pagi hari telah berkumpul di rumah Bapak Hardjosopoero yaitu :
1.      Bapak Hardjosopoero            4.    Bapak Somogiman
2.      Bapak Djojodjaimoen             5.    Bapak Darmo
3.      Bapak Kemi Handini              6.    Bapak Rekso Kasirin
Tepatnya pada tanggal 13 Pebruari 1953 pukul 10.00 WIB, mereka sedang asyiknya bercakap-cakap tiba-tiba Bapak Hardjosopoero dengan suara keras berkata dalam Bahasa Jawa :
“Kanca-kanca delengen aku arep mati, amat-amat ana aku.”
Terjemahan bebasnya :
“KAWAN-KAWAN LIHATLAH AKU AKAN MATI, AMAT-AMATILAH AKU.”
Sambil berkata demikian Bapak Hardjosopoero lalu berbaring terlentang membujur ke timur sambil memejamkan  matanya, serta dalam keadaan tangannya bersidakep, persis bagaikan sikapnya orang mati.
Mendengar kata-kata Bapak Hardjosopoero dengan suara keras yang dibarengi dengan suatu tindakan nyata berbaring  membujur ke arah timur seperti tersebut di atas, maka dengan rasa sangat terharu dan dengan hati berdebar-debar semua kawan-kawannya segera menempatkan diri, masing-masing di samping terbaringnya Bapak Hardjosopoero.
Dalam keadaan rasa khawatir kalau sampai terjadi sungguh-sungguh akan kematian Bapak Hardjosopoero, maka dalam mengamati beliau mereka menggunakan caranya sendiri-sendiri. Ada yang mencoba meraba-raba seluruh tubuh beliau, ada yang menempelkan telinganya pada dada beliau  dan ada pula yang mencoba dengan menggunakan asap rokok pada hidung beliau. Tindakan para sahabatnya yang demikian itu hanya semata-mata untuk meyakini tentang keadaan beliau, sudah atau belumkah terjadi kematian Bapak Hardjosopoero
Setelah peristiwa ini berlangsung lebih kurang setengah jam lamanya, maka tiba-tiba terbangunlah beliau yang kemudian bersabda kepada para sahabat yang masih tekun menunggunya :

“INILAH YANG NAMANYA RACUT, MATI DALAM HIDUP”

Kemudian diceritakanlah semua pengalamannya selama melakukan tugas untuk mati, yang lengkapnya seperti berikut :
Dalam melakukan tugas mati yang disebut racut tadi, Bapak Hardjosopoero merasa rohaninya keluar dari wadagnya dan naik ke atas melalui alam yang enak sekali, Alam Langgeng. Kemudian sampailah beliau di sebuah rumah besar yang sangat indah sekali. Di dalam rumah yang besar dan indah itu, terlihat orang yang bersinar laksana Maha Raja, sehingga badan dan mukanya tidak terlihat nyata karena sinar yang berkilauan itu. Di situ Bapak Hardjosopoero duduk bersila
Selesai melakukan sujud kepada Hyang Maha Kuasa, Bapak Hardjosopoero lalu dibopong oleh orang yang bersinar tadi, kemudian diayun beberapa kali. Selanjutnya Bapak Hardjosopoero digandeng menuju ke taman yang penuh bunga dan indah sekali pemandangannya. Dari situ dibawa ke sebuah sumur yang penuh air bersih sampai tumpah airnya. Kemudian dibawa ke sumur yang kedua, Bapak Hardjosopoero disuruh membukanya dan ternyata sumur yang keduapun penuh air yang jernih sekali. Kedua sumur tersebut namanya Sumur Gumuling dan Sumur Jalatunda.
Setelah itu kembali ke rumah yang sangat besar dan indah tadi, bersabdalah orang yang bersinar tersebut kepada Bapak Hardjosopoero “INILAH UNTUKMU” sambil menyodorkan dua bilah keris pusaka. Yang satu wujudnya besar dengan rangka polokan Mataraman dan yang lain pada pamornya terdapat bentuk benda bulat berjajar bagaikan Bendo Segodo. Dua bilah keris pusaka tersebut bernama Nogososro dan Bendo Segodo.
Seusai menerima dua bilah keris pusaka tersebut maka Bapak Hardjosopoero disuruh kembali. Dalam perjalanan kembali, Bapak Hardjosopoero merasa diikuti oleh sebuah bintang yang besar dan bersinar terang yang seakan-akan mengantar perjalanan pulang Bapak Hardjosopoero. Demikianlah cerita pengalaman perjalanan dalam racut Bapak Hardjosopoero kepada para sahabatnya yang senantiasa tekun menunggui peristiwa yang bersejarah itu.

0 komentar:

Posting Komentar