Sri Gutomo : “Jika Meninggal; Meninggalah Cara Manusia”
Dalam ceramahnya pernah Bu Sri Pawenang mengatakan : Jika kita berbicara rohani walau tentang diri sendiri, namun se-olah2 menyinggung perasaan org lain; hal itu karena dalam diri setiap orang/manusia mempunya rohani. Maka yg terbaik adalah perenungan dan introspeksi. Dalam kesempatan lain beliau bercerita pada penulis tentang wejangannya Pak Sri (Sri Gutomo).
Dihadapan para tuntunan, Sri Gutomo mengatakan : “Setiap orang pasti akan mati (meninggal dunia). Namun jika mati, maka matilah cara manusia, jangan mati cara satok khewan”. Pak Sri menghentikan kata-katanya dan memandangi keseputar yg hadir. Audiens menjadi hening tak ada yg bersuara. Walau di hati tersimpan rasa ingin tahu, wejangan yang dimaksud. Memang dalam diri Sri Gutomo, terpancar kharisma yang begitu kuat. Jika sedang memberikan wejangan begitu semangat dan matanya terbuka lebar, seakan melototi yang hadir. “Mati cara manusia itu bagaimana dan yang cara satok khewan itu bagaimana Pak Sri?”. Tiba2 terdengar pertanyaan dari salah satu yg hadir. Yang lainnyapun menggumamkan suara lega, pada akhirnya ada yang berani juga bertanya, mewakili pertanyaan semua orang. “Mati cara manusia itu ya matinya di rumah, paling tidak di rumah sakit. Sementara mati cara satok khewan itu adalah seperti ketlindes truk, kecemplung blumbang, tergilas kreta, terbantai dll”.
Penulis meminta penjelasan lebih lanjut pada Bu Sri tentang wejangan diatas; “Yah…tiap orang kan mempunyai jalan hidup dan guratan takdir masing2. Hal itu disebabkan karena perilaku dan tesing dumadinya. Tapi kan tidak perlu khawatir, jika tekun sujudnya, jika sampai sujudmu pd Tuhan, kamu minta ampun pastilah kesalahan2mu akan diampuni dan hukumanmu akan terkurangi”. Begitu penjelasan beliau. “Lalu Bu, jika dikatakan Dasar dengan Ajar, itu kuat mana Bu? Kan jika dasarnya orang itu mengalami nasib A misalnya, dimana peristiwa A ini tidak baik, terus bagaimana? Apakah dengan Ajar orang itu bisa, tidak mengalami peristiwa A?” penulis bertanya lebih lanjut. “Di Sapta Darma ini dgn ajaran sujudnya, bisa merubah dasar, asal sujudnya itu benar2 sampai pd Tuhan untuk mohon ampun dan bertobat. Cobalah kamu sujud tekun sampai sujudmu ‘nglonyoh’ “ jawab beliau. (nglonyoh yg dimaksud beliau artinya; suatu kondisi dimana sujud dan pengamatan rasanya sudah sangat terbiasa dilakukan tanpa batas, sehingga ketika patrap sujud, maka dengan cepat dapat memisahkan antara rasa dengan pangrasa, sehingga sujudnya itu benar2 sujud rohani, artinya Hyang Maha Suci menyatu dengan getaran Sinar Cahya Allah. Ketika Hyang Maha Suci sudah menyatu dgn Sinar Cahya Allah, dgn ijin dan kemurahan Tuhan kita bisa mengetahui jadwal hidup kita. Dan jika jadwal itu tidak baik, maka kita usaha dan upaya untuk memperbaikinya”. Beliau memberi penjelasan lebih lanjut. “Wah…angel dan susah!” Penulis membathin. “Pancen tidak mudah jika hanya dipikir, tapi cobalah dimulai. Berani mengatasi rintangan seperti malas, ngantuk dsb, pasti bisa” Kata beliau menjawab bathin penulis. Untuk mengalihkan rasa malu, penulis segera bicara lagi “Wah repot ya Bu! Kita punya kesalahan pribadi dan kesalahan bawaan leluhur, sementara untuk sujud seperti yg Ibu maksud itu sulit sekali Bu?” Tanya penulis asal. “Ya repot atau tidak, sulit atau tidak, semua tergantung pada diri kita dalam memandang, menyikapi. Kewajiban kita Cuma menjalankan titahNYA, dan kita menjalani ajaran Sujud, yg bisa membuka cakrawala spiritual, maka yang tidak kita bayangkan dan bahkan diluar nalar wadag, bisa saja terjadi. Satu hal lagi yang penting, peningkatan mutu rohani itu harus diimbangi dengan perilaku baik. Sebab sekuat apapun laku peningkatanmu melalui sujud, namun jika perilaku masih mencerminkan kemauan nafsu sedulurmu, usahamu itu dapat dikatakan sia-sia”. Nah sampai disini penulis merasa cukup menerima wejangan dari beliau, wadahnya sudah tidak mencukupi, maka begitu beliau menghentikan kata2nya, penulis pamit permisi. Lalu menuju dapur bikin kopi………….
0 komentar:
Posting Komentar