Selasa, Agustus 09, 2011

SEJARAH BAGIAN III

SEJARAH  PENERIMAAN WAHYU WEWARAH SAPTA DARMA 
DAN PERJALANAN PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA
(BAGIAN III - BAB. II) 



DIKELUARKAN OLEH
SEKRETARIAT TUNTUNAN AGUNG
KEROKHANIAN SAPTA DARMA

UNIT PENERBITAN
Sanggar Candi Sapta Rengga - Surokarsan MG.II/472 Yogyakarta 55151
Telepon/Fax : (0274) 375337  -  Email : saptadarma@yahoo.com



PERKEMBANGAN AJARAN
AGAMA SAPTA DARMA
(1956 S/D 1960)


Ajaran Agama Sapta Darma merupakan wahyu yang diterima dari Hyang Maha Kuasa oleh Bapak Hardjosopoero dan bukan merupakan ajaran racikan. Untuk memberikan gambaran tentang Ajaran Agama  Sapta Darma, maka berikut diuraikan : (1) Riwayat hidup penerima wahyu, (2) Masa pertapaan, (3) Masa penyebaran, (4) Masa pendalaman.

2.1.      RIWAYAT  HIDUP PENERIMA WAHYU          
2.1.1.   RIWAYAT HIDUP BAPAK HARDJOSOPOERO YANG BERGELAR PANUNTUN AGUNG SRI GUTAMA
2.1.1.1.    Nama
Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, nama asli masa kecilnya Sopoero, setelah nikah, nama selengkapnya menjadi Hardjosopoero, kemudian nama Sri Gutama adalah nama sebagai Panuntun Agung Agama Sapta Darma, yang dianugerahkan oleh Hyang Maha Kuasa pada tanggal 27 Desember 1955.
2.1.1.2.    Tempat dan Tanggal Lahir
Bapak Hardjosopoero yang bergelar Panuntun Agung Sri Gutama dilahirkan di Desa Pare, Kec. Pare, Kab. Kediri, Prop. Jawa Timur, Indonesia, tanggal 27 Desember 1914.
2.1.1.3.    Jenis Kelamin
Bapak Sopoero adalah seorang putra, anak yang pertama dari pasangan suami isteri, Bapak Soehardjo dan Ibu Soelijah. Mempunyai adik kandung seorang putri bernama Jatinah. Bapak Soehardjo (almarhum) adalah mantan pegawai Kantor Pos dan Telepon, Kawedanan Pare, Kabupaten Pare, Jawa Timur, Indonesia.
2.1.1.4.    Pekerjaan
Bapak Hardjosopoero bekerja wiraswasta sebagai tukang cukur, disamping usaha lain di bidang perdagangan.
2.1.1.5. Alamat
Alamat dan tempat tinggal Bapak Hardjosopoero di Desa Pare, Kec. Pare, Kab. Kediri, Propinsi Jawa Timur, Indonesia. Sedangkan Bapak Hardjosopoero selaku Panuntun Agung Agama Sapta Darma, dalam melaksanakan tugas Peruwatan dan Penyebaran Agama Sapta Darma, beliau membangun sebuah sanggar (tempat pertapaan) yang diberi nama “Sanggar Candi Sapta Rengga”, Surokarsan MG.I/164 dulu dan sekarang Surokarsan MG.II/472 Yogyakarta, beliau di sana mulai pertengahan tahun 1960 s/d pertengahan tahun 1964.
2.1.1.6. Pendidikan
Bapak Soehardjo ayah dari Sopoero pada tahun 1915 meninggal dunia. Karenanya Ibu Soelijah menjadi janda muda dan sedang mengandung, beserta anak sulungnya Sopoero yang baru berumur lebih kurang 1 (satu) tahun, diasuh oleh Kakek dan Neneknya yang bernama Kartodinomo. Pada tahun 1920 anak yang bernama Sopoero dimasukkan sekolah pada Sekolah Dasar dan tamat pada tahun 1925. Setelah tamat sekolah, karena kakeknya meninggal dunia terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan harus berusaha membantu Ibu dan Neneknya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.     
2.1.1.7. Orang Tua
Bapak Soehardjo dan Ibu Soelijah.
2.1.1.8. Jumlah Keluarga
Pada tahun 1939 remaja Sopoero yang telah berusia 25 tahun melaksanakan perkawinan dengan Nona Sarijem, dengan mendapat nama dewasa Hardjosopoero. Bapak Hardjosopoero dengan Ibu Sarijem mendapatkan 7 orang putra yakni sebagai berikut :
1)      Sardjana (putra) lahir pada tahun 1940 di Pare.
2)      Sardjani (putra) lahir pada tahun 1942 di Pare.
3)      Surip alias Harini (putri) lahir pada tahun 1945 di Pare.
4)      Suwito (putra) lahir pada tahun 1947 di Pare.
5)      Surono (putra) lahir pada tahun 1949 di Pare.
6)      Sudjaka (putra) lahir pada tahun 1952 di Pare.
7)      Purboyo (putra) lahir pada tahun 1956 di Pare.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga sebanyak 7 orang itu, bekerja sebagai wiraswasta, utamanya menjadi Tukang Cukur, di samping itu juga sebagai pedagang kecil, jual beli emas, berlian dan lain sebagainya. Bapak Hardjosopoero seorang yang suka berusaha. Beliau juga punya pengalaman kerja di bidang industri kecil sebagai Tukang Blangkon, sedang Ibu Sarijem disuruh membantu usaha untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan berjualan bunga. Namun setelah Bapak Hardjosopoero menerima Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma dan bergelar Panuntun Agung Sri Gutama, maka beliau tidak dapat lagi bekerja sebagai tukang cukur, pedagang kecil dan sebagainya karena beliau harus melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa, yaitu untuk menerima Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma selengkapnya dan menyebarkannya. Oleh karena itu mulai tanggal 27 Desember 1952 praktis Ibu Sarijem berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, sampai akhir hayatnya. 
2.1.1.9  Pengalaman Perjuangan
Sejak pukulan penjajahan Belanda, Bapak Hardjosopoero sudah gemar mengikuti kegiatan Perkumpulan dan Perjuangan Rakyat. Pada 1937 aktif mengikuti kegiatan oganisasi Kepanduan Surya Wirawan, dan juga menjadi anggota PARINDRA (Partai Indonesia Raya) yang dipimpin oleh Saudara Kasran, di Pare, Kediri. Tetapi akhirnya PARINDRA dibubarkan oleh Pemerintah Belanda, karena dianggap berbahaya bagi Pemerintah Belanda.
Kemudian di Pare Kediri, berdirilah PARTINDO (Partai Indonesia) yang dipimpin oleh Bapak Danumihardjo seorang Mantri Guru Taman Siswa. Tidak mau ketinggalan, beliau Bapak Hardjosopoero masuk menjadi anggota PARTINDO pada tahun 1945.
Dalam perjuangan Perang Kemerdekaan ke II, dimana pemerintahan untuk sementara  dipegang oleh militer, dan karenanya berdirilah KODM (Komando Onder Distrik Militer) atau PMKT (Pemerintah Militer Kecamatan) pada tahun 1948 s/d 1949. Bapak Hardjosopoero tidak tinggal diam, tetapi ikut aktif di dalam Formasi ODM di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, di bawah komando Komandan Letnan Darmon. Dengan berdirinya Negara RIS (Republik Indonesia Serikat), dimana seluruh anggota Laskar Perjuangan harus kembali ke induknya masing-masing, maka Bapak Hardjosopoero juga kembali ke pos-nya semula, yaitu ke masyarakat.
2.1.1.10. Perjuangan Hidup
Pada tanggal 27 Desember 1952, sejak menerima Wahyu Ajaran Agama Sapta Darma sampai dengan selengkapnya dan Wahyu Nama Sri Gutama sebagai Panuntun Agung Agama Sapta Darma, serta Wahyu Penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma, maka Panuntun Agung Sri Gutama mutlak sepenuhnya melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa.
Telah digariskan oleh Allah Hyang Maha Kuasa bahwa masa tugas beliau adalah 12 (dua belas) tahun, dan setelah itu harus kembali ke Pengimanan. Dengan kembalinya Bapa Panuntun Agung Sri Gutama (Bapak Hardjosopoero) ke Pengimanan Langgeng, maka berakhirlah tugas hidup beliau, Bapak Hardjosopoero di dunia fana ini, yang tepatnya beliau meninggal dunia pada hari Rabu Pahing, tanggal 16 Desember 1964, pukul 12.10 WIB di Pare, Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Tugas dan perjuangan beliau diteruskan oleh Ibu Sri Pawenang dan seluruh Warga Sapta Darma dimanapun berada, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, aman dan sejahtera yang berdasarkan Pancasila khususnya bagi Bangsa Indonesia, serta perdamaian dunia yang didambakan oleh seluruh umat manusia.

2.1.2. RIWAYAT HIDUP IBU SOEWARTINI MARTODIHARDJO, S.H. YANG BERGELAR SRI PAWENANG
2.1.2.1. Nama Kecil
R. A. Soewartini.
2.1.2.2. Nama Lengkap
R. A. Soewartini Martodihardjo, S.H.
Turunan ke 5 (Tedak ke 5) dari Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Kaping II (Kalih).
2.1.2.3. Tempat Tanggal Lahir
Kadisobo, Sleman, Yogyakarta, 17 Desember 1930 .
2.1.2.4 Jenis Kelamin
Soewartini adalah seorang putri, anak yang keempat dari pasangan suami istri, Bapak R. M. Sajad Martodihardjo dan Ibu Sukarsilah,  yang dikaruniai 5 orang putra, yaitu :
1. Soekartinah alm (putri pertama)
2. Soeratinah alm (putri kedua)
3. Soewartinah alm (putri ketiga)
4. Soewartini (putri keempat)
5. Soetardjo alm (putra kelima)
2.1.2.5. Alamat
Surokarsan MG. II/472 Yogyakarta 55151.
2.1.2.6. Orangtua
R.M. Sajad Martodihardjo dan Ibu Sukarsilah.
2.1.2.7.    Pendidikan
1)      Tahun 1944  : Lulus SR Canisius Stichting Yogyakarta
2)      Tahun 1947  : Lulus SMP  Negeri Yogyakarta
3)      Tahun 1951  : Lulus SMA Negeri Magelang
4)      Tahun 1966  : Lulus Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
5)      Tahun 1972  : Lulus Advokat
2.1.2.8.    Pengabdian di lingkungan Pemerintah dan Masyarakat
1)      1948-1949  : Tentara Pelajar
2)      1947-1963  : Pegawai Kementerian Penerangan (DEPPEN)
3)      1975-1982  : Ketua RT 21 RW 06 Surokarsan
4)      1982-1985  : Wakil Ketua RT 21 RW 06 Surokarsan
5)      1977-1987  : Ketua IKADIN Cabang Yogyakarta
6)      1978-1987  : Anggota MPR dari Utusan Daerah Istimewa Yogyakarta
7)      1978-1990  : Ketua LPPH DIY, Pengurus PKK Mergangsan
8)      1972-1996  : Pengacara / Advokat
                  
2.1.2.9.    Seminar / temu wicara yang pernah diikuti
1) Temu Wicara “Kelahiran, Kehidupan dan Kematian”, 17  Maret 1974.
2) Koordinator Sie Wanita R.K. se Wilayah Kecamatan Mergangsan, 18 Agustus 1974.
3) Pelindung Penyerahan Hadiah Pemenang Puisi, 9 Desember 1979.
4) Juara I Tumpengan, 17 Agustus 1981.
5) Seminar “Sumbangan Dunia Advokat dalam mengisi Era Pembaharuan Hukum Nasional”, 30 Maret 1986.
6) Simposium Hukum Acara Perdata, 20 Juni 1987.
7) Penataran P4 bagi Calon Penatar Tingkat Nasional, 1 Agustus 1987.
8) Seminar “Pemahaman Nilai-nilai Religius Mahasiswa”, September 1987.
9) Seminar sehari “Penegakan dan Kesadaran Hukum yang timbul dari Masyarakat juga Penguasanya”, 29 Oktober 1988.
10) Seminar “Kriminal Sadis terhadap Wanita”, 25 Nopember 1989.
11) Seminar Sejarah dengan tema “Otonomi Manusia dalam Sejarah”, 5 April 1989.
12) Seminar “Integritas Profesi Advokat / Penasehat Hukum sebagai unsur Catur Wangsa Penegak Hukum Indonesia”, 8 Februari 1992.
13) Seminar “Hak Imunitas Advokat Dalam Negara Hukum Indonesia”, 10 Desember 1992.
14) Seminar “Pembangunan Aparatur Hukum yang Memiliki Kemampuan yang Profesional Untuk Mengayomi Masyarakat Pencari Keadilan dan Fungsi serta Peranan Organisasi Hukum yang berintikan Keadilan dan Kebenaran dalam Negara Hukum yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”, 9  Juli 1993.
2.1.2.10.   Pengabdian di Lingkungan Kerokhanian Sapta Darma
1) 1956               : Disujudkan oleh Bapak Pawiro Tunggak (dari Pare, Kediri) di 
                            Sanggar Candi Busana Gowongan Lor, Yogyakarta.
2) 1956-1964     :Mengikuti perjalanan Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dalam 
                            rangka penyebaran Ajaran Agama Sapta Darma.
3) 1959-1990    : Perintis dan Ketua Yayasan Srati Darma.
4) 1986-1996    : Pembina Agung Persatuan Warga Sapta Darma.
5) 1964-1996    : Menyiarkan, menyebarkan, melestarikan, mengembang-kan dan   
                            menjaga kemurnian Ajaran Kerokhanian Sapta Darma.
6) 1990-1996    : Perintis dan Ketua Badan Pembina Yayasan Srati Darma Pusat.
7) 1989-1996    : Perintis dan Presiden Direktur Perusahan Jamu Saptasari
8) 1982-1996    : Perintis dan Penasehat Koperasi Serba Usaha Karya Warga.
9) 1972-1996    : Perintis dan Pelindung Penerbitan Majalah Sinar Cahya.
10) 1994-1996  : Perintis dan Pelindung Buletin Klinting  Semar.

2.2. MASA PERTAPAAN
2.2.1. ARTI TENTANG MASA PERTAPAAN
            Masa pertapaan dalam Ajaran Agama Sapta Darma  mempunyai arti, yaitu masa diterimanya Wahyu Ajaran Agama  Sapta Darma, yang sekonyong-konyong di luar kemauan sendiri oleh Panuntun Agung Sri Gutama dan disaksikan oleh para sahabatnya yang datang pada waktu itu, yaitu diterimanya :
1) Wahyu Sujud.
2) Wahyu Racut.
3) Wahyu :
     a.  Simbul Pribadi Manusia
     b.  Wewarah Tujuh
     c.  Sesanti
4) Wahyu Istilah Tuntunan dan Istilah Sanggar.
5) Wahyu Saudara Dua Belas.
6) Wahyu :
     a.  Tali Rasa
     b.  Wasiat Tiga Puluh Tiga
7) Wahyu Wejangan Dua Belas
8) Wahyu Nama :
     a.  Panuntun Agung Sri Gutama
     b.  Agama Sapta Darma
9) Wahyu Tugas Panuntun Agung Sri Gutama.

2.2.2.  PENERIMAAN WAHYU SUJUD (27 DESEMBER 1952)
Di Kampung Pandean, Gang Koplakan, sebelah barat Pasar Lama, di Desa Pare, Kec. Pare, Kab. Kediri, Propinsi Jawa Timur, berdiamlah seorang putra Bangsa Indonesia bernama Bapak Hardjosopoero, pekerjaan wiraswasta. Selama hidupnya beliau tidak pernah mendalami ajaran agama apapun dan tidak mempercayai cara-cara perdukunan, kecuali hanya percaya penuh kepada adanya Hyang Maha Kuasa yang memberi hidup kepada seluruh umat / titahNya.
Pada tanggal 26 Desember 1952, sehari penuh Bapak Hardjosopoero berada di rumah tidak bekerja seperti biasanya, sebagai tukang potong rambut. Yang menyebabkan beliau tidak bekerja karena hatinya merasa gelisah, sekalipun tidak ada beban batin maupun pikiran yang menyelimuti dirinya.
Sore harinya beliau menghadiri undangan ke rumah kawannya yang punya hajat, sudah barang tentu berkumpul dengan orang banyak, namun kegelisahan batin yang dialaminya tidak kunjung reda (hilang). Bahkan apa yang dirasakan beliau itu makin malam makin gelisah.
          Menjelang pukul 24.00 WIB beliau pamit pulang hanya dengan berjalan kaki, setelah sampai di rumah beliau mengambil tikar yang digelar di atas dipan yang berada di ruang tamu, dialihkan ke lantai dengan maksud digunakan tiduran dalam upaya menentramkan kegelisahannya. Pada saat itu tepat pukul 01.00 WIB, ketika beliau sedang tiduran itulah tiba-tiba badan beliau dibangunkan dan digerakkan oleh suatu daya berupa getaran yang sangat kuat di luar kemauan yang menempatkan dirinya dalam keadaan duduk bersila menghadap ke timur dan kedua tangan bersidakep. Walaupun demikian alam pikiran beliau masih dalam keadaan sadar. Sehingga berkeinginan untuk melepaskan diri dari gerakan dan getaran yang dialaminya. Tetapi beliau tidak mampu melepaskannya, yang pada akhirnya beliau menyerah dan bersedia mati pada saat itu pula. Namun yang terjadi diluar kemauannya justru beliau mengucap dengan suara yang keras (dalam Bahasa Jawa) :
“ALLAH HYANG MAHA AGUNG,
ALLAH HYANG MAHA ROKHIM,
ALLAH HYANG MAHA ADIL.”
         Dalam keadaan masih bergetar dan bergerak, badan beliau merasa tergerak membungkuk dengan sendirinya sehingga dahi menyentuh tanah / tikar, seraya mengucap dengan suara yang keras (dalam Bahasa Jawa) :
“ HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KUWASA,
HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KUWASA,
HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KUWASA”
Kemudian duduk dan membungkuk kembali, sampai dahi menyentuh tanah / tikar dengan suara keras mengucap (dalam Bahasa Jawa) :
“ KESALAHANE HYANG MAHA SUCI
 NYUWUN NGAPURA HYANG MAHA KUWASA, 
 KESALAHANE HYANG MAHA SUCI
 NYUWUN NGAPURA HYANG  MAHA KUWASA,

KESALAHANE HYANG MAHA SUCI NYUWUN NGAPURA HYANG  MAHA KUWASA.”

Kemudian duduk kembali seperti semula dalam keadaan badan bergetar terus. Setelah itu, tergerak lagi badan membungkuk yang ketiga kalinya sampai dahi menyentuh tanah / tikar dan mengucap dengan suara keras (dalam Bahasa Jawa) :
 “HYANG MAHA SUCI MERTOBAT HYANG MAHA KUWASA,
 HYANG MAHA SUCI MERTOBAT HYANG MAHA KUWASA,
 HYANG MAHA SUCI MERTOBAT HYANG MAHA KUWASA.”
Gerak sujud menyembah kepada Hyang Maha Kuasa tersebut dituntun secara langsung oleh Hyang Maha Kuasa dan gerak sujud ini berlangsung pada hari Jumat Wage pukul 01.00 s/d 05.00 WIB.
Setelah getaran terhenti timbul rasa takut pada diri sendiri, karena selama hidupnya belum pernah mengalami seperti itu. Kemudian beliau menengok ke kanan, ke kiri, ke belakang, ternyata tiada seorangpun yang berada di dekatnya. Kemudian beliau seraya melihat ke dalam kamar Ibu Hardjosopoero dan putra-putranya yang masih dalam keadaan tidur nyenyak. Selanjutnya seluruh anggota keluarga dibangunkan serta menanyakan apa tidak ada yang mendengar suara keras yang beliau ucapkan sepanjang malam tadi, ternyata tidak seorangpun yang mendengarnya, beliau semakin heran dengan adanya pengalaman yang menakutkan semalam. Setelah berbincang-bincang dengan keluarga tidak satupun yang mengerti, beliau lalu pamit ke rumah kawan terdekatnya antara lain Bapak Djojodjaimoen (seorang tukang kulit) ingin menceritakan dan menanyakan kejadian yang aneh itu. Sehingga tidak sempat menunggu minum kopi sebagaimana biasanya dilakukan setiap pagi.

0 komentar:

Posting Komentar